Ekonomi digital diproyeksikan menjadi pendorong utama pertumbuhan PDB Indonesia pada tahun 2030, dengan potensi nilai triliunan dolar. Artikel ini memetakan peluang besar di sektor e-commerce, fintech, dan on-demand services, sekaligus menganalisis tantangan krusial yang harus diatasi, terutama kesenjangan infrastruktur digital (digital divide) antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Indonesia adalah rumah bagi salah satu populasi digital paling dinamis di dunia. Pertumbuhan e-commerce dan adopsi fintech (seperti digital payment dan peer-to-peer lending) melesat cepat, didorong oleh populasi muda yang melek teknologi. Peta jalan pemerintah menargetkan digitalisasi UMKM, pengembangan startup, dan penciptaan talenta digital sebagai pilar utama.
Namun, potensi besar ini terancam oleh kenyataan di lapangan. Infrastruktur internet berkecepatan tinggi masih terpusat di Pulau Jawa dan kota-kota besar. Di banyak daerah di luar Jawa, akses internet masih lambat dan mahal. Kesenjangan digital ini menciptakan ketimpangan ekonomi baru, di mana mereka yang tidak terhubung akan semakin tertinggal dalam ekonomi modern.
Untuk mencapai visi 2030, fokus tidak boleh hanya pada aplikasi di hilir, tetapi pada fondasi di hulu. Proyek infrastruktur seperti Palapa Ring dan satelit SATRIA adalah langkah awal yang baik, tetapi belum cukup. Diperlukan investasi swasta dan regulasi yang pro-pemerataan akses. Tanpa infrastruktur yang merata, ekonomi digital Indonesia 2030 hanya akan menjadi milik segelintir orang di perkotaan.

