Urban Farming Global: Solusi Krisis Pangan atau Tren Sesaat?

Urban Farming Global: Solusi Krisis Pangan atau Tren Sesaat?

Pertumbuhan penduduk dunia yang pesat menimbulkan tantangan besar dalam penyediaan pangan. Salah satu solusi yang semakin populer adalah urban farming atau pertanian kota. Namun, muncul pertanyaan: apakah ini solusi nyata untuk krisis pangan global, atau hanya tren gaya hidup sementara?

Urban farming mencakup berbagai metode, mulai dari hidroponik, vertikultur, hingga akuaponik, yang diterapkan di lingkungan perkotaan. Dengan memanfaatkan ruang terbatas seperti atap gedung dan lahan kosong, masyarakat bisa menanam sayur dan buah sendiri.

Keunggulannya jelas: mengurangi ketergantungan pada distribusi pangan global, menyediakan makanan segar, dan mengurangi jejak karbon. Selain itu, urban farming juga meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat kota.

Beberapa kota besar seperti Singapura, Tokyo, dan New York sudah menjadikan urban farming bagian dari strategi nasional. Singapura bahkan menargetkan 30% kebutuhan pangan dipenuhi dari pertanian lokal pada 2030.

Namun, skalanya masih terbatas. Urban farming sulit menggantikan produksi pangan skala besar seperti padi dan gandum. Biaya infrastruktur juga cukup tinggi, terutama untuk sistem hidroponik canggih.

Di sisi lain, urban farming memberi nilai sosial. Masyarakat kota bisa membangun komunitas, menciptakan ruang hijau, dan mengurangi stres. Hal ini membuatnya lebih dari sekadar solusi pangan, tetapi juga gaya hidup modern.

Apakah urban farming bisa jadi solusi krisis pangan global? Mungkin tidak sepenuhnya. Namun, jika dipadukan dengan inovasi pertanian besar, urban farming bisa jadi bagian penting dari ekosistem pangan berkelanjutan.

Dengan demikian, urban farming adalah gabungan antara solusi nyata dan tren gaya hidup. Kuncinya ada pada integrasi dengan kebijakan pangan global.